MAKASSAR, BAPPELITBANGDA - Komoditas kain sutra di Sulawesi Selatan pernah menjadi penopang ekonomi bagi ribuan petani, petenun, dan pengusaha. Sempat tersohor sebagai penghasil sutra hingga ke mancanegara, sutra Sulsel kini terpuruk. Inovasi dan kebijakan yang tepat diharapkan mampu membangkitkan kembali kejayaan sutra di daerah ini.
Pemerintah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat kini berkolaborasi untuk mengembalikan kejayaan sutra di Sulsel. Kolaborasi ini sudah dimulai dengan melakukan kajian tentang rantai nilai komoditas sutra Sulsel melibatkan sejumlah instansi terkait dan Yayasan Bakti (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) yang berfokus pada pertukaran pengetahuan tentang program pembangunan di kawasan timur Indonesia atau KTI. Proyek itu juga melibatkan Knowledge Sector Initiative (KSI), program kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Australia.
”Dari hasil kajian ini memang ditemukan bahwa persoalan sutra ada dari hulu ke hilir dan ini perlu dibenahi. Persoalan mendasar di hulu adalah pada komoditas murbei sebagai pakan ulat sutra,” kata Kepala Dinas Perindustrian Sulsel Ahmadi Akil, Sabtu (28/8/2021).
Menurut dia, di Sulsel saja dibutuhkan 100 ton benang sutra per tahun. Saat ini yang bisa disuplai tak sampai 10 persen. Akibatnya, petenun harus menggunakan benang impor dan tak semua adalah sutra asli. Kondisi tersebut tentu berdampak pada pasar.
Era kejayaan sutra di Sulsel ditandai dengan berdirinya pabrik pemintalan benang sutra di Soppeng. Saat itu dimulai pada 1960 hingga puncaknya pada 1990-an, produksi benang sutra mencapai 140 ton per tahun. Saat itu, Presiden Soeharto bahkan melakukan dua kali kunjungan di Soppeng, di antaranya meresmikan Stasiun Persuteraan Alam yang dikelola Perhutani.
Ahmadi mengatakan, pada era tahun 70-an, Sulsel menjadi salah satu penghasil benang sutra terbesar di Indonesia. Tak hanya memasok kebutuhan dalam negeri, tetapi juga mengekspor benang sutra.
Berbagai persoalan pada persutraan kemudian muncul dan pada saat yang sama komoditas kakao masuk. Krisis ekonomi yang membuat harga kakao melambung membuat petani kemudian ramai-ramai beralih menjadi petani kakao. Sebagian beralih ke tanaman padi dan beragam komoditas lain.
”Saat ini, berdasarkan rekomendasi hasil kajian yang sudah dilakukan, kami berupaya mengajak petani kembali menanam murbei. Dinas kehutanan juga dilibatkan. Lahan yang bisa digunakan atau sisa lahan murbei akan dibenahi. Kami juga akan membantu petenun untuk membenahi produksi,” kata Ahmadi. Menurut dia, pasar sutra sebenarnya masih potensial.
Sebelumnya, persoalan komoditas sutra sempat jadi pembahasan pada seminar ”Pentingnya Inovasi Kebijakan dalam Optimalisai Potensi Daerah” yang dilaksakan oleh KSI, Kamis (26/8/2021). Salah satu benang merah dalam seminar tersebut adalah bahwa di masa pandemi, optimalisasi potensi daerah perlu digerakkan oleh strategi yang lebih efisien.
Selain itu, pengembangan potensi daerah juga perlu didukung inovasi kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan pembangunan serta kolaborasi pengetahuan multiaktor dalam kebijakan.
”Di Sulsel, sebenarnya komoditas unggulan tak hanya padi dan jagung, tapi juga ada sutra dan talas. Sutra punya nilai lebih karena komoditas ini memiliki nilai budaya dan tradisi turun-temurun. Sayangnya, persutraan Sulsel meredup setelah era 2000-an. Padahal, sebelumnya menjadi salah satu penopang ekonomi dan bahkan menjadi komoditas ekspor,” kata Rahmad Sabang, Koordinator Program Knowledge to Policy Yayasan Bakti.
Menurut dia, butuh inovasi dan kebijakan serta kerja sama semua pihak untuk bisa mengembalikan kejayaan sutra. Adapun hasil kajian yang dilakukan Bakti menemukan fakta bahwa di Kabupaten Wajo saja, yang dulu ada ribuan petenun, kini tersisa sekitar 150 orang.
Nasib petenun juga tak menjadi lebih baik. Sebagian yang dulu merupakan petenun mandiri kini menjadi buruh petenun. Sebagian bahkan tak punya alat tenun dan hanya mengandalkan mesin tenun ATBM (alat tenun bukan mesin) milik pengusaha.
Petenun yang umumnya perempuan bahkan termarjinalkan. Persoalan ini membutuhkan inovasi kebijakan yang bisa mengurai persoalan dari hulu ke hilir. Dahulu, hampir di semua kabupaten di Sulsel terdapat usaha kerajinan sutra.
Terkait soal ini, Muhammad Roudo, Pelaksana Tugas Direktur Regional II Kementerian PPN/Bappenas, mengatakan, sebenarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan inovasi daerah untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan pembangunan daerah.
”Sayangnya dalam situasi pandemi saat ini, banyak kebijakan yang dihasilkan merupakan arahan langsung dari pusat sehingga memerlukan penyesuaian di daerah. Penyesuaian juga butuh banyak hal, termasuk di antaranya inovasi pada substansi agar penyelarasan kebijakan dapat berjalan dengan baik dan tidak membingungkan masyarakat,” kata Roudo.
Dia mengatakan, secara regulasi, dorongan terhadap inovasi sudah cukup mumpuni. Bahkan, dalam RPJMN sudah dicantumkan bahwa target indeks inovasi daerah mencapai 36 persen. Namun, upaya tersebut belum cukup karena beberapa alasan. Ini, di antaranya, mencakup iklim inovasi yang masih perlu perbaikan dan nilai-nilai inovasi yang belum terinternalisasi secara efektif.
”Aspek birokrasi, misalnya, termasuk sikap skeptis para birokrat, masih menjadi salah satu tantangan utama. Lingkungan politik yang tidak mendukung juga berpengaruh terhadap implementasi inovasi karena erat kaitannya dengan penyediaan pendanaan ataupun sumber daya yang lain,” katanya.
Sumber berita : https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/28/lama-terpuruk-butuh-sinergi-bangkitkan-sutra-sulawesi-selatan
Komentar : ( 0 )